Rabu, 13 September 2017

Makna Logo Bulan Kitab Suci Nasional 2017


Logo BKSN 2017 terdiri dari beberapa bagian sebagai berikut :
  1. Menara Babel berwarna coklat, dengan berbagai macam lukisan dindingnya, dan terdiri atas beberapa tingkat. Tingkat pertama melukiskan orang-orang yang cenderung materialistis, hedonis, dan individualistis. Tingkat kedua menggambarkan kemajuan dunia modern di satu sisi, tetapi juga kehancuran masyarakat dan lingkungan alam akibat rasa takut akan perbedaan, kekerasan, dan ketamakan manusia. Tingkat ketiga melukiskan kemajuan teknologi informasi-komunikasi yang juga memiliki segi positif sekaligus negatif. Akibat positif-negatif dari seluruh kemajuan dunia modern itu tergantung pada tingkatan bawah, yakni orang yang menggunakannya.
  2. Arus lautan yang condong ke arah kanan melambangkan arus zaman. Di dalam arus itu tampak seorang manusia yang sedang terseret arus. Orang itu adalah gambaran manusia modern yang sedikit banyak dipengaruhi bahkan dikuasai oleh daya tarik dunia sampai tidak bisa memilahnya secara bijak.
  3. Namun manusia yang tengah terseret itu meminta bantuan pada Kristus, sedangkan Kristus mengangkat dia keluar dari arus lautan itu. Gambar ini melukiskan pentingnya setiap orang Kristiani selalu menimba inspirasi dari Sang Sabda yang tertulis dalam Kitab Suci.
  4. Tangan Kristus memancarkan empat warna, lantas mengenai Menara Babel dan mulai mengubah warnanya. Empat warna itu melambangkan empat nilai Injil yang menjadi pedoman bagi setiap orang Kristiani dalam menjalani solidaritas, persaudaraan dan hikmat. Melalui nilai-nilai Injil seseorang akan bisa berubah dari 'manusia Babel' menjadi manusia Injili.
Seputar Tema BKSN
Arus zaman dunia modern melanda seluruh bangsa manusia termasuk Gereja. Banyak hal positif yang dihasilkannya. Arus aman teknologi, misalnya, membuat pekerjaan menjadi lebih efektif dan efisien. Informasi dan komunikasi menjadi lebih mudah dan cepat. Kemudahan dan kecepatannya menjadikan dunia bagaikan satu desa kecil. Itulah sebabnya, Gereja dianjurkan juga untuk menggemakan Sabda Allah tidak hanya melalui media cetak, tetapi juga melalui bentuk-bentuk komunikasi yang lain terutama internet. Namun, tidak sedikit pula hal negatif yang dimunculkan oleh arus zaman modern sehingga perlu diteliti secara cermat agar bisa diperbaiki. Hal ini disebut oleh Paus Fransiskus dalam himbauan apostoliknya, Evangelii Gaudium, suka cita injil. Dalam himbauan apostolik tersebut dilukiskan masalah besar yang melanda dunia modern yang akhirnya ikut melanda Gereja juga. Masalah-masalah besar itu terkait dengan mentalitas negatif budaya modern seperti konsumerisme, hedonisme, sekularisme, individualisme, kesenjangan sosial, dan fundamentalisme agama. Maka, Paus Fransiskus menyerukan kepada semua komunitas untuk selalu meneliti dengan cermat tanda-tanda zaman dan menanggapinya secara efektif.

Dalam konteks meneliti dan menanggapi tantangan yang dihadapi oleh dunia modern yang akhirnya juga ikut melanda Gereja, Bulan Kitab Suci Nasional tahun 2017 mengambil tema, “Kabar Gembira Di Tengah Gaya Hidup Modern.” Tema ini dijabarkan dalam empat sub tema. Pertama, arus zaman teknologi dan nilai-nilai Injili dalam kisah menara Babel (Kej. 11:1-9). Kedua, arus zaman materialisme dan nilai-nilai injili dalam perumpamaan orang kaya yang bodoh (Luk. 12:13-21). Ketiga, arus zaman individualisme dan nilai-nilai injili dalam kisah cara hidup jemaat perdana (Kis. 2:41-47). Keempat, arus zaman hedonisme dan nilai-nilai injili dalam nasihat Yakobus tentang hikmat dan hawa nafsu (Yak. 3:14-4:3). Melalui keempat sub tema ini diharapkan umat kristiani tidak terseret dan terhanyut oleh arus zaman modern dengan terus berpegang pada nilai-nilai Injili.

Sejarah BKSN
Bulan September biasanya, Gereja Katolik Indonesia memasuki Bulan Kitab Suci Nasional. Pimpinan Gereja menganjurkan umat Katolik menjadi lebih akrab dengan Kitab Suci dengan berbagai cara, sehingga dengan demikian umat semakin tangguh dan mendalam imannya daam menghadapi kerumitan dan kesulitan hidup dewasa ini. Tercandra, pada bulan September telah dikhususkan oleh Gereja Katolik Indonesa sebagai Bulan Kitab Suci Nasional. Di setiap keuskupan dilakukan berbagai kegiatan untuk mengisi bulan ini, mulai di lingkungan, wilayah, paroki, biara, maupun di kelompok-kelompok kategorial. Misalnya, lomba baca KS (Kitab Suci), pendalaman KS di lingkungan, pameran buku, dan sebagainya. Terutama pada hari Minggu pertama bulan itu, kita merayakan hari Minggu Kitab Suci Nasional. Perayaan Ekaristi berlangsung secara meriah, diadakan perarakan khusus untuk KS, dan KS ditempatkan di tempat yang istimewa.

Sejak kapan tradisi Bulan Kitab Suci Nasional ini berawal? Untuk apa? Untuk mengetahui latar belakang diadakannya BKSN ini kita perlu menengok kembali KV II (Konsili Vatikan II). Salah satu dokumen yang dihasilkan oleh KV II yang berbicara mengenai KS adalah Dei Verbum. Dalam DV (Dei Verbum) para bapa Konsili menganjurkan agar jalan masuk menuju Kitab Suci dibuka lebar-lebar bagi kaum beriman (DV 22). Konsili juga mengajak seluruh umat beriman untuk tekun membaca KS. Bagaimana jalan masuk itu dibuka? Pertama-tama, dengan menerjemahkan KS ke dalam bahasa setempat, dalam hal ini Bahasa Indonesia. Usaha ini sebenarnya telah dimulai sebelum KV II dan Gereja Katolik telah selesai menerjemahkan seluruh KS, baik PL (Perjanjian Lama) maupun PB (Perjanjian Baru). Namun, KV II menganjurkan agar diusahakan terjemahan KS ekumenis, yakni terjemahan bersama oleh Gereja Katolik dan Gereja Protestan. Mengikuti anjuran KV II ini, Gereja Katolik Indonesia mulai “meninggalkan” terjemahan PL dan PB yang merupakan hasil kerja keras para ahli Katolik, dan memulai kerja sama dengan Lembaga Alkitab Indonesia. Dengan demikian, mulailah pemakaian KS terjemahan bersama, yang merupakan terjemahan resmi yang diakui baik oleh Gereja Katolik maupun Gereja-gereja Protestan di Indonesia. Yang membedakan hanyalah Kitab-Kitab Deuterokanonika yang diakui termasuk dalam KS oleh Gereja Katolik namun tidak diakui oleh Gereja-gereja Protestan.

Kitab Suci telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, namun umat Katolik Indonesia belum mengenalnya, dan belum mulai membacanya. Mengingat hal itu, Lembaga Biblika Indonesia, yang merupakan Lembaga dari KWI untuk kerasulan Kitab Suci, mengadakan sejumlah usaha untuk memperkenalkan KS kepada umat dan sekaligus mengajak umat untuk mulai membaca KS. Hal ini dilakukan antara lain dengan mengemukakan gagasan sekaligus mengambil prakarsa untuk mengadakan Hari Minggu Kitab Suci secara nasional. LBI mengusulkan dan mendorong agar keuskupan-keuskupan dan paroki-paroki seluruh Indonesia mengadakan ibadat khusus dan kegiatan-kegiatan sekitar KS pada Hari Minggu tertentu. LBI telah dua kali mencobanya.

Pada tahun 1975 dalam rangka menyambut terbitnya Alkitab lengkap ekumenis, LBI menyarankan agar setiap paroki mengadakan Misa Syukur pada bulan Agustus. Bahan-bahan liturgi dan saran-saran kegiatan yang dapat dilakukan beberapa bulan sebelumnya dikirimkan ke keuskupan-keuskupan. Percobaan kedua dilakukan pada tahun 1976. Akhir Mei 1976 dikirimkan bahan-bahan langsung kepada pastor-pastor paroki untuk Hari Minggu Kitab Suci tanggal 24/25 Juli 1976, ditambah lampiran contoh pendalaman, leaflet, tawaran bahan diskusi, dan lain-lain. Walaupun dua kali percobaan itu tidak menghasilkan buah melimpah seperti yang diharapkan, LBI toh meyakini bahwa HMKS (Hari Minggu Kitab Suci Nasional) harus diteruskan dan diusahakan, dengan tujuan sebagai berikut: Untuk mendekatkan dan memperkenalkan umat dengan sabda Allah. KS juga diperuntukkan bagi umat biasa, tidak hanya untuk kelompok tertentu dalam Gereja. Mereka dipersilahkan melihatnya dari dekat, mengenalnya lebih akrab sebagai sumber dari kehidupan iman mereka. Untuk mendorong agar umat memiliki dan menggunakannya. Melihat dan mengagumi saja belum cukup. Umat perlu didorong untuk memilikinya paling sedikit setiap keluarga mempunyai satu kitab suci di rumahnya. Dengan demikian, umat dapat membacanya sendiri untuk memperdalam iman kepercayaannya sendiri.

Dalam sidang MAWI 1977 (sekarang KWI), para uskup menetapkan agar satu Hari Minggu tertentu dalam tahun gerejani ditetapkan sebagai Hari Minggu Kitab Suci Nasional. Hari Minggu yang dimaksudkan adalah Hari Minggu Pertama September. Dalam perkembangan selanjutnya keinginan umat untuk membaca dan mendalami KS semakin berkembang. Satu Minggu dirasa tidak cukup lagi untuk mengadakan kegiatan-kegiatan seputar Kitab Suci. Maka, kegiatan-kegiatan ini berlangsung sepanjang Bulan September dan bulan ke-9 ini sampai sekarang menjadi Bulan Kitab Suci Nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar